Sejarah dan Alat-Alat Perekaman Audio
Alat perekam suara pertama yaitu Phonoautograph penemuan Leon Scott telah ada sebelum Phonograph penemuan Thomas Alpha Edison yang digunakan untuk mempelajari gelombang suara pada tahun 1857. namun alat tersebut tidak digunakan untuk mereproduksi hasil rekaman tersebut. Phonograph diciptakan seiring dengan pengembangan perangkat telepon pada tahun 1870-an dan pada saat itulah Edison mendapat ide untuk mencetak pesan telepon di atas kertas berlapis wax manggunakan alat elektromagnetik. Setelah penemuan tersebut, bermunculan alat perekam lain sepertiGraphophone dan perusahaan lain yang membuatnya. Para ilmuwan meyakini bahwa alat tersebut dibuat pada 9 April 1860 oleh ilmuwan Perancis, Edouard-Leon Scott de Martinville.
Edouard-Leon Scott de Martinville merekam suara menggunakan alat bernamaphonautograph yang memindahkan gelombang suara ke dalam selembar kertas yang dihitamkan dengan asap lampu minyak. Untuk memutar rekaman itu sendiri, para ahli membuat alat pemindai digital beresolusi sangat tinggi. Dengan pemindai digital itu para ahli dapat membaca gelombang suara yang dihasilkan Edouard-Leon Scott de Martinville tersebut. Hasilnya, terdengarlah rekaman seseorang bernyanyi: ‘Au clair de la lune, Pierrot repondit‘. Edouard-Leon Scott de Martinville sendiri tidak bisa memutar ulang rekaman yang ia buat tersebut, baru pada tahun 1888 Thomas Alpha Edison dapat membuat alat yang dapat merekam sekaligus dapat memutar kembali suara yang direkam.
Pada tahun 1894, Emir Berliner mencetuskan ide untuk mencetak suara di atas piringan dan bukan silinder dengan alas an lebih mudah direproduksi. Ide piringan inilah yang berkembang menjadi disc yang kita kenal sekarang ini.
Phonograph, graphophone dan alat perekam lainnya adalah alat mekanik sampai tahun 1920 dikembangkan player dengan built in speaker yang mengizinkan pemutaran hasil rekaman dapat lebih keras suaranya. Hingga akhir perang dunia II, phonograph atau dikenal juga dengan gramaphone adalah satu-satunya alat perekam dan playback yang umum digunakan, tetapi zaman sudah mulai berubah. Hollywood mulai mengambil peranan dalam perkembangan rekaman dengan menggunakan suara di film.
Tape Recording
Pada akhirnya, pengembangan tape recording yang menggantikan phonograph danrecording optical, karena lebih mudah dan biayanya yang lebih terjangkau. Tape mulai populer tahun 1950-an. Perkembangan tape recorder ini membawa perubahan yang pesat dalam membuat musik. Karena dengan tape, proses edit menjadi lebih mudah, pemberian efek fade in dan fade out bisa dilakukan. Jika sebelumnya seorang artis harus membawakan lagu dengan sempurna saat direkam, dengan adanya tape recording, proses penambalan dan edit yang lebih mudah, berbagai kesalahan dapat diperbaiki dengan mudah.
Multitrack Recording
Pada tahun 1940-an mulainya eksperimen dengan menggunakan multitrack recording yang terus berkembang menjadi lebih rumit hingga tahun 1960-an. Dengan adanya multitrack recording, teknik merekam dengan memisahkan grup artis dapat dilakukan. Efek lain yang ditimbulkan oleh multitrack recording ini adalah munculnya suara stereo. Para insiyur suara pada tahun 1930-an mulai bereksperimen dengan merekam menggunakan 2 microphone, 2 amplifier, dan 2 speaker yang menyebabkan efek aural yang menyenangkan. Pada tahun 1960-an, 8 track player yang biasa diasosiasikan dengan player untuk mobil menjadi sangat popler namun segera mati dan digantikan oleh kaset.
Tahun 1963 Philips mengenalkan Compact audio cassette atau yang lebih kita kenal sebagai kaset sebagi media penimpan audio baru. Perusahaan yang berbasis di Eindoven Belanda ini baru menjual massal penemuan mereka ini pada tahun 1965, kemudian pada tahun 1971, Advent Corporation memperkenalkan Model 201 tape deck yang merupakan ibu dari tapeyang selama ini kita kenal. Dalam perkembangan berikutnya pada awal dekade 1980-an lahirlah Walkman yang dibuat oleh perusahaan elektronik dari Jepang yaitu Sony. Perusahaan ini membuat alat pemutar kaset portable yang ukurannya tak lebih dari ukuran kotak makan.
Digital Recording
Mulai tahun 1980-an teknologi digital recording mulai berkembang. Tahun 1984 Sony memperkenalkan Compact Disk CD yang berbentuk seperti cakram kecil dengan lubang ditengahnya. Ide dari pembuatan CD ini adalah merampingkan bentuk media penyimpan musik populer selama ini yaitu kaset yang dirasa terlalu besar. Disamping itu pengenalan CD ini juga bertujuan untuk membuat kualitas audio yang dihasilkan menjadi lebih baik selain kepraktisan dalam penyimpanan.
Lahirnya CD kemudian diikuti oleh lahirnya VCD dan DVD yang dapat menyimpan bentuk visual bergerak selain dapat menyimpan bentuk audio. Lahirnya CD dan perkembangannya tidak dapat dipungkiri merupakan awal dari revolusi musik digital karena data-data yang disimpan dalam CD adalah data-data audio dalam format digital. Dan pada tahun 1990-an, budaya rekaman sudah mencapai era yang sangat berubah dari budaya awal. Denagn segala kemudahan menggunakan peralatan multimedia, dengan semuanya sudah berupa file digital,hobbyist dan pemakai komputer biasa sudah bisa merekam dan mengedit materi digital dan me-mixingnya. Musical Instrument Digital Interface (MIDI) juga mengubah bagaimana musik dibuat. Format Audio Digital sendiri banyak sekali macamnya, seperti WAV, AAC, WMA, Ogg Vorbis, Real Audio, MIDI dan tentu saja yang paling populer adalah MP3.
MP3 yang secara teknis disebut MPEG 1 Audio Layer3 lahir dari kerjasama antara tim dari Fraunhofer Institute Jerman dan Digital Audio Broadcasting (DBA). Proyek mereka ini diberi nama EUREKA EU147. Kerjasama yang dimulai pada tahun 1985 ini ide besarnya adalah membuat format audio yang serealistik mungkin dengan ukuran file yang sekecil mungkin. Tim yang diketuai oleh Profesor Dieter Seitzer dan Profesor Heinz Gerhauser akhirnya menemukan algoritma yang dapat menangkap berkas suara yang tidak tertangkap telinga. Berkas suara ini sendiri dapat dimampatkan sebesar 1/10 dari ukuran semula. Algoritma yang bernama ISO-MPEG Audio Layer-3 (IS 11172-3 dan IS13818-3) ini kemudian distandarisasi secara global dengan Moving Picture Experts Group (MPEG) agar dapat diterima secara internasional.
Ditahun 1995 tim dari Fraunhofer Institute Jerman membuat Wimplay yang merupakan pemutar musik versi Windows yang bisa memecah algoritma MP3 sehingga dapat dinikmati secara reltime. Wimplay inilah yang menjadi cikal bakal Media player yang terdapat di Personal Computer.Dalam perkembangannya berikutnya lahirlah iPOD yang merupakan pemutar MP3 portable yang digagas oleh Steve Jobs yang merupakan CEO Apple inc.
Perkembangan teknologi dari masa ke masa tidak dapat dipungkiri memberi dampak bagai pedang bermata dua. Di satu sisi perkembangan teknoloi pemutar musik kesempatan bagi tersebarnya produk-produk musik secara luas kepada penikmatnya. Disisi lain pembajakan musik menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan industri musik sendiri, dalam hal ini dapat dikatakan industri teknologi informasi bisa menjadi madu sekaligus racun bagi industri musik
PERKEMBANGAN INDUSTRI REKAMAN DI INDONESIA
Keberadaan Perusahaan Rekaman di Indonesia dan Era Piringan Hitam
PADA mulanya adalah musik klasik dan jazz, lalu gramafon Columbia made in USA dan peralatan studio rekaman dibawa ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20, seratus tahun silam. Setelah itu baru tercatat berdirinya perusahaan rekaman ODEON, CANARY, dan HIS MASTER VOICE di Surabaya, yang memproduksi piringan hitam untuk orang-orang kaya perkotaan yang jumlahnya tidak seberapa.
Catatan keberadaan perusahaan rekaman di Indonesia ditemukan sekitar tahun 1954 ketika IRAMA berdiri, disusul DIMITA, REMACO di Jakarta dan perusahaan rekaman milik negara LOKANANTA di Solo. Pencinta musik Suyoso Karsono yang lebih dikenal Mas Yos menggunakan garasi rumahnya di Jalan Theresia, Jakarta, untuk merekam sejumlah grup musik, dari sinilah lahir perusahaan rekaman IRAMA.
Yang pertama direkam Irama adalah sebuah quintet yang terdiri dari Dick Abel, Max van Dalm, Van der Capellen, dan Nick Mamahit. Perusahaan rekaman pertama setelah kemerdekaan Indonesia ini juga memproduksi penyanyi dan grup musik Melayu seperti Hasnah Tahar (Burung Nuri, Khayalan dan Penyair), yang diiringi Orkes Melayu Bukit Siguntang pimpinan A Chalik.
Kemudian Munif Bahasuan (Ratapan Anak Tiri), Oslan Husein yang me-rock ‘n roll-kan lagu Bengawan Solo, Kampuang nan Jauh di Mato dengan iringan musik orkes Taruna Ria, Nurseha (Ayam den Lapeh, Laruik Sanjo), serta Mas Yos sendiri yang merekam suara lewat lagu Nasi Uduk, Janganlah Jangan diiringi Orkes Maruti.
Sebelum menjadi Koes Bersaudara dan masuk rekaman DIMITA tahun 1969, Koes Bersaudara yang terdiri dari Tonny, Yon, Yok, Nomo, Jon pada tahun 1962 merekam lagu-lagunya di IRAMA. Sejumlah lagunya yang hingga kini masih digemari antara lain Dara Manisku, Jangan Bersedih, Harapanku, Dewi Rindu, Bis Sekolah, Pagi Yang Indah, Si Kancil, Oh Kau Tahu, Telaga Sunyi, Angin Laut, Senja, Selamat Berpisah, Aku Rindukan Kasihmu, Gadis Puri, Kuduslah Cintamu., Selalu, Rindu, Awan Putih, Doa Ibu, Bintang Kecil, Di Pantai Bali.
Titiek Puspa (Minah Gadis Dusun, Si Hitam, Daun Yang Gugur, Mari Kemari), Lilies Suryani (Gang Kelinci, Tiga Malam, Jali Jali), Tuty Subarjo – Onny Suryono (Telepon), Rachmat Kartolo (Patah Hati, Pusara Cintaku), Elly Kasim (Bareh Solok, Hitam Manis), Nien Lesmana (Kopral Djono, Letnan Hardi, Menanti) serta Ireng Maulana sempat pula berkarya di studio rekaman IRAMA yang amat sederhana di Jalan Cikini Raya. Sedemikian sederhananya sehingga suara hujan atau kereta api yang lewat di belakang studio terekam lebih keras dari musik dan vokal penyanyi.
Jejak IRAMA diikuti DIMITA dan REMACO, yang selain memproduksi lagu-lagu keroncong, mulai berpaling pada lagu pop. Dimita yang dipimpin Dick Tamimi memproduksi piringan hitam Panbers dan Koes Bersaudara, sebelum kedua grup itu pindah ke Remaco.
Sementara LOKANANTA tetap memproduksi lagu-lagu daerah dan tradisional. Hingga tahun 1964, perusahaan-perusahaaan yang memproduksi piringan hitam ini tidak mengalami hambatan berarti kecuali pasar yang lambat berkembang.
Era Kaset Industri Rekaman Indonesia
Industri rekaman Indonesia baru memasuki ERA KASET tahun 1964. Waktu itu para pembajak memimpin suatu perubahan. Mereka memberikan teknologi yang lebih praktis dan murah, yaitu kaset, ketimbang piringan hitam yang terbilang mahal dan lebih rumit.
Jangkauan pasar kaset yang luas, menyebabkan Remaco yang dipimpin mantan ketua umum Asiri tahun 1990-1992, almarhum Eugene Timothy (Palembang 1 Februari 1938-Jakarta 24 Desember 2002) juga mulai memproduksi kaset tahun 1967. Setahun kemudian Eugene Timothy melakukan operasi antipembajak yang barangkali pertama di Indonesia, karena waktu itu lagu-lagu dari piringan hitam Remaco paling banyak dibajak.
“Saya harus mengimpor kaset merek TDK dan Phillips langsung dari Singapura dan Hongkong untuk menandingi ulah pembajak. Mula-mula omzet penjualan belum sebanyak sekarang, baru puluhan ribu kaset untuk setiap judul. Ketika lagu-lagu Koes Plus mulai digemari dan setiap judul kaset bisa terjual ratusan ribu buah, saya baru menyadari bahwa kami sudah memasuki industri rekaman kaset,” ungkap Eugene Timothy dalam sebuah seminar tentang hak cipta awal tahun 1980-an.
Dengan Remaco-nya, Eugene Timothy merekam suara emas Broery Pesolima, Eddy Silitonga, Ernie Djohan, Tetty Kadi, Lilies Suryani, Ida Royani, Benyamin S, Hetty Koes Endang, Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, grup Empat Nada, Koes Plus, Mercy’s, D’lloyd, Favouriet’s, Panbers, Bimbo, The Pros, The Crabs, serta sederetan nama lainnya.
Teknologi rekaman kaset yang sederhana ternyata menumbuhkan dengan subur industri pembajakan. Sedemikian mengkhawatirkan masalah pembajakan kaset ini, sehingga sejumlah pelaku industri musik bersepakat mendirikan GIRI (Gabungan Industri Rekaman Indonesia) — diketuai almarhum Tony Ibrahim dari perusahaan rekaman Flower Sounds pada tahun 1975 (Majalah Top Nomor 78, 7 Juni 1977) — untuk memberantas pembajakan kaset. Sayang, GIRI tidak memperlihatkan gebrakan yang berarti. Mungkin karena itulah kemudian berdiri Asiri (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) lahir 1 Februari 1978, dengan maksud dan tujuan yang sama.
Pada tahun 1975 juga berdiri APNI (Asosiasi Perekam Nasional Indonesia) yang diketuai Pungky Purwadi BA, beranggota perekam lagu Barat seperti AQUARIUS, HINS COLLECTION, NIRWANA, TOP, ETERNA, CONTESSA, PERINA, SATURN, KING’S RECORDS, ATLANTIC RECORDS, YESS, dan GOLDEN LION. Tetapi, pada tahun 1988, ketika perekam lagu barat diharuskan membayar royalti pemusik dan perekam lagu Barat, asosiasi ini bubar. Sebagian anggotanya meleburkan diri menjadi anggota Asiri.
“SAYA mengawali keterlibatan dalam industri musik karena suka mengumpulkan piringan hitam lagu-lagu klasik Opera Kanton, jazz, dan klasik barat,” kata Hendarmin Susilo (56), Presiden Direktur PT GEMA NADA PERTIWI (GNP) yang memproduksi lagu-lagu tradisional, langgam, keroncong, hingga lagu pop dan tradisional Indonesia yang liriknya diterjemahkan ke bahasa Mandarin.
Menurut anak pertama dari empat bersaudara, ayah dari empat anak dan kakek dari tiga cucu ini, karena khawatir piringan hitamnya rusak tergores, lagu-lagu yang disenanginya direkam ke pita seperempat inci dengan tape-recorder Aiwa M8, yang saat itu, tahun 1969 termasuk paling canggih. Hasilnya ternyata mengesankan beberapa temannya yang langsung minta direkam ke kaset. Itulah awal dia terinspirasi memproduksi kaset yang berisi lagu-lagu barat.
Namun, perusahaan rekaman HINS COLLECTION yang didirikannya tahun 1970 terpaksa ditutup karena tidak memiliki lisensi produksi lagu barat. Hendarmin mulai mengaktifkan GNP tahun 1984 dan produksi pertamanya adalah lagu keroncong yang dinyanyikan Gesang.
“Saya memang pencinta musik keroncong. Dalam kondisi industri yang kurang baik sekarang ini, saya tetap menerbitkan rekaman keroncong Gesang terbaru yang membawakan lagu-lagunya sendiri. Kasetnya saya cetak 5.000 dan CD-nya 1.000 buah. Saya harap jumlah ini bisa habis dalam waktu enam bulan hingga satu tahun,” ungkap Hendarmin.
Perekam lagu barat lainnya Iwan Sutadi Sidarta masih tetap memproduksi lagu dari mancanegara dengan berbagai label, selain lagu pop Indonesia.
“KING’S RECORDS yang saya dirikan tahun 1969, sekarang khusus menerbitkan lagu-lagu nostalgia, Buletin International untuk lagu-lagu remaja sekarang seperti Backstreet Boys, Britney Spears, dan sebagainya. Untuk lagu Indonesia, saya juga menggunakan label Buletin, Aruna, Granada, dan Billboard,” kata Iwan yang mempopulerkan kembali lagu Bujangan Koes Plus lewat grup Junior.
Bekerja sama dengan Log Zhelebour, Iwan mendirikan LOGISS RECORDS tahun 1986. Tetapi baru sekarang menikmati sukses bersama kaset Jamrud. Meski demikian, kini Iwan paling berani menerbitkan satu judul kaset untuk setiap label perusahaannya. Satu hal yang sama dilakukan MUSICA STUDIO’S.
“Setiap produksi kaset harus dihitung dengan matang. Karena untuk produksi dan promosi seorang penyanyi atau grup baru paling tidak dibutuhkan Rp 200 juta hingga Rp 300 juta,” kata Indrawati Widjaja (43), Direktur Utama Musica Studio’s yang memimpin perusahaan ini sejak tahun 1985.
Putri ketiga dari pendiri Musica Studio’s Amin Widjaja ini sudah akrab dengan studio rekaman sejak sekolah menengah pertama. Amin Widjaja adalah pendiri BALI RECORDS yang memproduksi piringan hitam Eka Sapta yang populer dengan lagu Putih Putih Si Melati, serta sejumlah penyanyi pada awal 1960-an.
Eka Sapta adalah nama toko peralatan musik milik Amin Widjaya di Pasar Baru. Waktu itu, untuk rekaman dilakukan di studio darurat yang peredam suaranya mempergunakan karung-karung berisi biji kopi di toko kopi Warung Tinggi, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta kota.
“Awal tahun 1970-an BALI RECORDS menjadi METROPOLITAN dan kemudian MUSICA STUDIO’S hingga sekarang. Pasang surut industri musik sudah kami alami dan tetap bisa survive karena kami cinta bisnis ini,” ujar Indrawati yang baru saja menerbitkan kaset Chrisye Dekade yang produksi dan promosinya menghabiskan Rp 1 miliar.
“Secara keseluruhan bisnis kaset sekarang ini merosot hingga 30 persen. Namun, untuk penyanyi tertentu seperti Chrisye atau Iwan Fals misalnya, shipout (jumlah peredaran kaset baru gelombang pertama) bisa mencapai 50.000 hingga 100.000 kaset. Sementara untuk penyanyi baru hanya sekitar 10.000 hingga 15.000 kaset,” tambah ibu dari empat anak yang amat sabar melayani penyanyi dan para pemusiknya.
Indrawati adalah keponakan nyonya Tjandra Herawati Wijaya, yang mendirikan perusahaan rekaman ATLANTIC RECORDS (1977), perusahaan perekam video Trio Tara (1978), toko kaset dan CD Disctara (1986) dan pabrik CD pertama di Indonesia Dynamitra Tara (1992).
Masa Keemasan Industri Rekaman di Indonesia
Ketika industri musik sedang menikmati masa keemasannya tahun 1997, tidak satu orang pun menyadari kehadiran seorang pelaku industri musik yang baru. Setelah dia berhasil menjual kaset So7 dari grup asal Yogyakarta Sheila On 7 sebanyak 1,2 juta kaset, baru anak muda berusia 35 tahun ini menjadi perhatian. Dia adalah Sutanto Hartono, Managing Director SONY MUSIC INDONESIA.
Apa yang ditangani Sutanto semula adalah lagu-lagu barat. Namun, dia merasa akan lebih menyenangkan bila bisa mengorbitkan penyanyi atau grup musik Indonesia sendiri. Maka, direkrut grup asal Bandung /rif dan kaset perdananya laris 100.000 buah.
“Sekarang kami memiliki 20 grup dan penyanyi Indonesia. Sony Music untuk pop, Sony Wonder lagu anak-anak, dan Sony Dangdut,” tukas Sutanto tentang perkembangan perusahaan rekaman yang dipimpinnya.
Jika kaset penyanyi lain shipout hanya sekitar puluhan ribu kaset, album Sheila on 7 terbaru 09 Des mencapai 600.000 kaset, yang hingga akhir Oktober 2002, sudah mencapai penjualan 1,2 juta buah.
“Semua itu bisa terjadi karena kami mengondisikannya lebih dulu melalui radio, televisi dan media cetak sebelum mengedarkan kasetnya. Supaya jangan tersesat dalam jalur distribusi, kami bereksplorasi dan membuka jalannya dulu,” ungkap Sutanto.
“Meski kondisi industri musik kita sedang menurun seperti sekarang, saya tetap akan berproduksi. Mungkin tiga atau enam bulan satu album. Sony Music memang sedang berjaya, kami yang kecil ini ingin survive juga,” ujar Rocky Dharmawan dari AVANTE MUSIC yang pernah sukses dengan album grup Amartya 8 yang terdiri dari bintang-bintang sinteron.
“Musik jazz memang pasarnya kecil, tetapi tetap diperlukan. Sepanjang tidak merugi terlalu banyak saya tetap akan bekerja,” kata Sandy dari Sangaji Records. \
Pada mulanya, Sandi hanya menangani musik klasik dan jazz. Tetapi, sekarang genre-nya beraneka ragam dan cepat berubah, sehingga memerlukan kewaspadaan, sigap, dan beradaptasi dengan unsur musikalitas yang baru. Kalau tidak akan semakin sulit memberdayakan industri budaya yang bisa diibaratkan sebagai labirin (bangunan berlorong dan gang-gang ruwet) yang sekarang semakin menyesakkan.
Hak-cipta dilanggar di mana-mana. Kepastian hukum nyaris nihil dalam bidang usahanya. Label internasional mulai beroperasi penuh setelah keluar Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994. Hadirnya lebal asing membuat omzet label domestik menurun sedikitnya 60 persen. Ratusan label lokal mati atau mati suri.
Sejak 2000-an muncul CD/VCD/DVD (juga MP3) sebagai pengganti kaset. Bisa dipastikan bahwa era kaset akan segera berakhir dalam waktu dekat. Seiring dengan itu penggandaan haram alias pembajakan musik rekaman merajalela. Juga lahir bisnis rekaman via internet atau telepon seluler.
Industri Rekaman di Indonesia Sekarang
Industri musik rekaman di Indonesia kini memasuki periode terburuk sejak bisnis ini dimulai pada 1954. Penjualan album fisik terus merosot.
Penyebabnya selain karena perkembangan teknologi dunia maya, pembajakan memang masih terus merajalela. Meski gerakan antipembajakan terus dikobarkan, toh pembajak tetap merajalela. Bahkan, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tingkat pembajakan di Indonesia berada dalam kondisi sangat parah.
Data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), menyebutkan pada 2008 produk bajakan di Indonesia peredarannya mencapai 90% dari produk aslinya. Hanya 10% saja produk rekaman asli beredar di pasaran! Artinya, satu album resmi dirilis, 9 bajakannya sudah muncul di pasaran.
“Sudah amat parah,” ungkap Anang Hermansyah, pengamat musik yang mempopulerkan jualan musik lewat internet melalui im:port.
Penjualan album rekaman legal memang terus menurun drastis hingga 20% tiap tahun. Perusahaan rekaman pun banyak yang ambruk.
Industri rekaman sebagai salah satu elemen terpenting industri musik Indonesia mengalami pukulan cukup berat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Pembajakan juga dituding menjadi ‘biang keladi’ turunnya jumlah penjualan album fisik (audio & video) legal. Data ASIRI memperlihatkan fenomena itu.
Jika pada 2005 jumlah kaset, CD dan VCD yang beredar di Indonesia mencapai angka 30.032.460 keping, maka pada 2006 angkanya sudah menciut menjadi 23.736.355 keping. Terus menurun pada 2007 hingga mencapai angka 19.398.208. Dan hanya sekitar 15 jutaan yang beredar pada 2008.
Data itu menggambarkan rata-rata penurunan peredaran cakram audio dan video legal di Indonesia mencapai sekitar 20% tiap tahun!
Pengamat musik Bens Leo pernah mengungkapkan, tren penurunan rekaman fisik telah terjadi mulai awal 2000-an ketika ditemukannya new media di dunia. Ini imbas dari tren di mancanegara, dalam hal ini AS sebagai kiblat industri musik dunia yang juga mengalami penurunan akibat naiknya tren mengunduh musik via layanan P2P [peer-to-peer].
Namun, katanya, untuk Indonesia, pembajakan kaset dan CD memang masih menduduki peringkat atas. “Ini membawa ajal bagi perusahaan rekaman, musisi, penyanyi, pencipta lagu, dan pihak-pihak lain yang terkait dalam industri musik,” katanya.
Arie Suwardi Widjaja, Direktur A&R Aquarius Musikindo, 1-2 tahun ke depan akan menjadi satu kurun waktu yang menentukan arah industri musik lokal. “Apakah penjualan rekaman fisikal masih bisa menguntungkan atau habis. Mungkin jika teknologinya sudah mengarah ke sana bakal banyak toko-toko kaset yang tutup,” ujarnya.
Aquarius Musikindo yang memiliki bisnis retail musik di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, menurutnya juga mengalami tekanan yang luar biasa beberapa tahun belakangan ini. “Saat ini memang pasar penjualan fisik album sangat parah. Yang datang ke toko kaset sekarang sedikit sekali, akibatnya penjualan juga sedikit,” ujarnya
Perbedaan Musik Indie dan Mainstream
Umumnya yang dimaksud dengan mainstream adalah arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan secara meluas yang coverage promosinya juga secara luas, nasional maupun internasional, dan mereka mendominasi promosi di seluruh media massa, mulai dari media cetak, media elektronik hingga multimedia dan mereka terekspos dengan baik.
Jadi jika kita berbicara kriteria dari mainstream dengan indie itu lebih kepada industrinya, perbedaannya lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan rekaman. Kalau masalah talent atau talenta, tidak ada yang memungkiri kalau band-band indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Jadi di sini hanya masalah uang, karena industri musik berbasis kepada profit, jadi label menanamkan modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih besar, ya, itu tadi pada nilai investasinya.
Tahapan-tahapan Rekaman Sebuah Album Musik
1) Tahapan paling awal adalah menyiapkan materi. Dan ini berarti ada proses penciptaan lagu. termasuk pula proses pembuatan aransemen musik (bila memainkan lagu yang sudah ada). Penciptaan segala sesuatu itu membutuhkan pemikiran yang dalam. Seperti halnya produk-produk lain, (obat, pasta gigi, majalah, handphone, sabun cuci) untuk menciptakan sebuah produk umumnya diperlukan riset yang panjang dan rumit sebelum akhirnya bisa diproduksi.dan dipasarkan secara luas. Dalam bidang seni (apa pun jenis seni-nya), proses penciptaan bisa jadi lebih kompleks. Mungkin dibutuhkan suasana hati yang sesuai, bahkan ada karya seni indah yang baru tercipta setelah sang pencipta mengalami dan merasakan penderitaan akibat suatu tragedi. Bila kita berhasil menciptakan satu lagu atau gagasan aransemen, itu suatu keberhasilan. Namun itu baru satu. Sedangkan untuk sebuah album, umumnya diperlukan belasan lagu. Semakin banyak lagu yang tercipta, semakin banyak pula pilihan kita dalam menentukan mana yang terbaik untuk masuk ke dalam album kita. Untuk tahapan ini, waktu yang diperlukan bisa sangat lama. Dari jangka berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun.
2) Setelah sekian lama pada proses penciptaan, materi pun harus telah siap. Bagi yang memiliki modal, dapat langsung menyewa studio rekaman dan memulai proses rekam. Namun tidak semua seniman seberuntung itu. Banyak cerita musisi yang begitu sulit mendapatkan produser yang mau memproduksi karya mereka. Band-band papan atas yang sekarang pun, umumnya pernah mengalami banyak penolakan oleh perusahaan rekaman. Susahnya perjalanan untuk bisa masuk studio rekaman ini terkadang bisa membuat frustasi dan menyerah bagi musisi atau seluruh personel band.
3) Katakanlah bila akhirnya berhasil mendapat perusahaan rekaman yang mau memproduksi karya kita. Kita sudah berlatih habis-habisan untuk mempersiapkan diri. Di sini perjuangan berikut dimulai. Bagi yg memiliki grup band dan sudah sering berlatih, proses rekaman tidaklah sama dengan pertunjukkan di panggung atau di video klip di mana seluruh musisi bermain (atau mengiringi penyanyi). Karena di studio, proses rekaman dilakukan per-instrumen dan biasanya vokal yg terakhir. Perkecualian adalah rekaman dari sebuah live show (pertunjukkan langsung) yang menuntut persiapan teknis dan kerumitan penataan suara yang lebih canggih. Proses dimulai dengan persiapan partitur dan menentukan tempo yang tepat. Lalu penyetingan suara untuk instrumen musik (seperticheck sound di panggung) setelah itu baru mulai satu per satu. Biasanya instrumen bas yang mulai lebih dulu. Lalu baru drum dan seterusnya. Setiap instrumen membutuhkan waktu 1 sampai 3 hari untuk menyelesaikan satu album. Ini pun sangat tergantung pada kesiapan sang musisi. Bila ia sudah berlatih sebelumnya, maka waktu sewa studio akan lebih singkat. Biaya pun dapat dihemat. Hasil rekam suara per instrumen biasa sebut dengan satu track. Untuk sebuah grup musik, agar mendapat hasil yang maksimal umumnya memerlukan puluhan track. Untuk drum misalnya, memerlukan beberapa track sekaligus karena setiap elemennya (kick, tam, snare, hi-hat, symbal, dll) direkam dengan mikrofon yang berbeda. Solo gitar seperti album saya hanya memerlukan satu track. Namun bila saya hendak menambahkan bunyi instrumen lain, tentu diperlukan lagi track baru. Waktu yang diperlukan untuk merekam seluruh instrumen hingga habis satu album sangat lama. Patokan yang lebih akurat adalah shift rekaman studio. Satu shift adalah 6 jam. Untuk solo gitar dibutuhkan kurang lebih 5 shift rekaman. Jumlah ini bisa lebih besar atau kecil tergantung dari jumlah instrumen yang akan direkam dan juga tingkat kerumitan lagu-lagunya. Saat rekaman berlangsung, bisa saja terjadi pengulangan rekam untuk mendapatkan hasil paling sempurna. Pendeknya, diupayakan agar hasil rekam sesempurna mungkin dengan kesalahan sesedikit mungkin. Dari semua proses merekam, vokal manusia paling sulit dibanding instrumen musik lain. Instrumen musik umumnya sudah memiliki nada yang pasti. Namun vokal amatlah sensitif. Mengatur pita suara memerlukan keterampilan dan latihan yang intens. Bagi yang jago menyanyi atau penyanyi profesional sekalipun dapat mengalami kesulitan dalam proses rekaman di studio yang begitu detail. Berbeda dengan benyanyi di panggung, di studio rekaman, fals sedikit pun akan terdengar dan proses rekam harus diulang berkali kali.
4) Setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan, proses rekaman bisa selesai. Mungkin kita bias bersenang-senang. Namun perjalanan belum selesai. Hasil rekaman harusmelewati dulu proses mixing. Ibarat makanan, hasil rekaman kita masih sebatas menyediakan bahan-bahan baku dan bumbu. Mixing adalah proses memasaknya hingga menjadi makanan yg lezat. Di sini sang koki (sound engineer) yang menentukan berapa banyak tiap bahan diperlukan, dan berapa banyak garam atau terasi, untuk setiap jenis masakan. Proses mixing menentukan enak tidaknya lagu ini terdengar di kuping kita. Misalnya, apakah suara gitarnya pas, tidak terlalu keras dibanding vokal. Atau pakan suara bas sudah hendak ditebalkan atau ditipiskan, dan masih banyak lagi pertimbangan yang rumit. Di sinilah keterampilan dan pengalaman sound engineer diperlukan. Proses mixing bisa memakan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan karena setiap track harus diolah dengan hati-hati dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahan.
5) Setelah proses mixing selesai, hasil rekaman maju ke tahap berikut yang disebutmastering. Di sini hasil mixing master diperindah dan disesuaikan kualitas audionya untuk format, kaset, CD, ataupun yang lainnya. Proses mastering memakan waktu 2 sampai 5 hari karena dilakukan per lagu.
6) Sementara proses mixing dan mastering berlangsung, umumnya anggota band bisa melakukan sesi foto untuk keperluan sampul atau kemasan album. Bisa dari foto simpel di depan kelurahan atau menyewa fotografer terkenal. Proses ini biasanya cukup menyenangkan. Desain untuk cover album mestinya sudah dirampungkan di tahap ini. Bersamaan dengan selesainya mastering, siaplah master rekaman dibawa ke pabrik penggandaan. Album rekaman pun akhirnya siap.
7) Sampai di sini, tim marketing mulai beraksi menerapkan strategi promosi(yang biasanya sudah dibahas sejak awal rekaman agar sesuai dengan tema dan sasaran pasar). Kegiatan mereka antara lain menyiapkan materi promosi (termasuk pembuatan video klip yang kelak akan kita bahas di tulisan terpisah), mengirimkannya ke media massa, menjalin hubungan dengan jaringan distributor dan toko. Jika memang dananya ada, bisa juga dilakukan acara launching. Dana untuk pemasaran dan promosi biasanya sangat besar. Misalnya saja untuk memasang iklan di berbagai media massa cetak dan elektronik, konser promo keliling berbagai kota. Tanpa dukungan marketing dan jaringan distribusi, tentu produk kita tidak akan sampai ke penjual. Tanggung jawab tim marketing adalah memastikan agar semakin banyak orang yang membeli album kita. Jika tidak ada yang beli, tentunya pengorbanan waktu, pikiran, dan energi yang telah dicurahkan dalam menghasilkan album rekaman akan jadi tidak berarti.
8) Akhirnya, setelah berjuang sekian lama, siap sudah musik kita beredar di jagat pasar musik Indonesia. Diterima atau tidaknya oleh pendengar itu soal lain lagi. Terlebih bagi grup atau penyanyi baru. Namun jika kualitas produk kita bagus dan penerapan strategi marketing-nya tepat, peluang album ini dibeli tentu akan lebih besar. Bila album sukses secara komersial, tentu ini menjadi kabar baik. Bagi perusahaan rekaman, keuntungan ini menjamin perusahaan tetap berdiri dan bisa terus menggarap album-album berikut. Bagi seniman, haknya mendapat nafkah dari bermain musik pun terpenuhi. Hal ini dapat mendorongnya terus berkarya. Namun bila angka penjualan album minim, maka kerugianlah yang didapat produser dan seniman. Yang lebih menyedihkan adalah bila kecilnya angka penjualan ini bukan disebabkan tidak adanya pembeli, tapi karena pembajakan. Jika kabar buruk seperti ini yang terus terjadi, maka tidak mustahil sang produser enggan berproduksi lagi dan seniman pun kehilangan salah satu sumber periuk nasinya. Pada kasus yang ekstrem, sebuah grup yang karya-karyanya begitu hebat dan melegenda bisa “mogok” tidak ingin lagi membuat album rekaman komersial.
Ancaman dan kesempatan Industri Rekaman era Konvergensi
Industri media merupakan industri yang kompleks. Industri media berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi. Ketika industri media berkonvergensi dengan teknologi, maka hal tersebut memberikan dilema dimana perkembangan teknologi ternyata memberikan kesempatan bagi berkembangnya industri sekaligus memberikan ancaman terhadap kerberadaan industri. Menurut Wirth (2006) salah satu isu dalam konvergensi media adalah konvergensi antara manajemen media dengan permintaan pasar.
- Suatu industri dapat bertahan bila industri tersebut memiliki pasar. Kebutuhan/permintaan konsumer akan menjadi isu yang penting di masa yang akan datang (Dowling et al, 1998).
- Dalam manajemen media, terdapat tiga dimensi yang saling berkonvergensi yaitu teknologi, permintaan konsumer dan industri/perusahaan penyedia produk (Dowling et al. 1998).
- Kunci dari berkembangnya model bisnis media adalah perkembangan produk yang berlandaskan konvergensi, kemampuan menyediakan kebutuhan konsumer baik yang baru ataupun yang sudah ada dan juga kemampuan menyediakan hal tersebut dengan harga yang lebih murah (Downing et al, 1998; Picard, 2000; Yoffie, 1997).
- Picard (2000) mengatakan bahwa konvergensi industri dengan teknologi media baru tidak membuat atau merubah komunikasi melainkan konvergensi tersebut akan memberikan efek bertambahnya kecepatan dan fleksibilitas dari komunikasi yang akan membuat cakupan dan integrasi ekonomi baru yang merubah wajah dari distribusi konten. Konvergensi ini akan memberikan kekuatan kontrol dan pilihan pada konsumer. Untuk dapat berhasil, produk baru harus dapat berkonvergensi, memberikan nilai pada konsumer dan bisnis dengan memenuhi kebutuhan yang ada dengan biaya yang paling rendah atau pada cara yang lebih nyaman dan/atau memenuhi kebutuhan consumer dan industri yang belum terpenuhi (Picard, 2000).
- Musik merupakan sesuatu yang kita dengar sehari-hari. Sebelum adanya tulisan, manusia menyanyikan lagu dan bercerita untuk berbagi pengetahuan dan menghibur. Sejak Edison memperkenalkan phonograph sampai Apple meluncurkan iTunes, industri rekaman musik telah berkembang begitu pesatnya.
- Dengan adanya digitalisasi dari rekaman musik, maka hal yang menjadi ancaman utama adalah adanya kemampuan file-sharing dari rekaman musik. Adanya rip, mix dan burn ditambah dengan kemapuan file sharing melalui Internet telah membuat konsumen dapat membuat rekaman ataupun meperoleh rekaman secara gratis. Walaupun Napster sudah diatur sehingga tidak bisa memberikan file secara gratis, tetapi masih ada jasa online lain seperti Kazaa yang menyediakan download lagu bagi para pencinta musik secara gratis (Ferguson, 2006).
- Hal inilah yang menjadi ancaman bagi industri rekaman. Tetapi di sisi lain, perkembangan teknologi itu sendiri memberikan banyak kesempatan bagi industri rekaman untuk maju. Kesempatan paling besar bagi perusahaan rekaman untuk berkembang adalah dengan meng-optimalisasikan penggunaan Internet-based digital music delivery system (Ferguson, 2006). Dengan berkerjasama dengan jasa penyedia layanan online, perusahaan bisa menjual musiknya melalui website. Hal ini akan mempermudah konsumer untuk mendapatkan lagu-lagu yang mereka inginkan tanpa harus pergi ke toko. Dari segi biaya, dengan menggunakan sistem distribusi online, maka biaya produksi dapat ditekan karena tidak lagi memerlukan bahan baku untuk membuat CD ataupun kaset. Berdasarkan Future Media Report July 2008, salah satu arah dari perkembangan teknologi media adalah media yang semakin personal.
- Hal ini dibuktikan dengan adanya iPod dan pemutar file Mp3 dari berbagai brand yang sekarang tersebar di pasaran. Bahkan pemutar musik tersebut sekarang ini sudah diintegrasikan dengan telepon selular. Di Indonesia sendiri sekarang ini sudah sering terlihat di jalan-jalan dimana banyak orang yang memakai earphone untuk mendengarkan musik. Hal ini membuktikan bahwa musik masih mempunyai pasar yang besar. Untuk terus dapat berkembang dan bertahan sekarang ini adalah bagaimana industri tersebut dapat beradaptasi dengan bekerjasama dengan industri jasa online sehingga industri rekaman tetap mendapat income dari lagu yang di download konsumer. Perkembangan teknologi ternyata juga mempengaruhi perkembangan industri radio. Menurut Ferguson (2006), ancaman utama pada industri radio adalah berkembangnya bentuk distribusi alternatif dan hilangnya identitas lokal.
- Ferguson mengatakan bahwa kompetisi terhadap radio datang dari provider radio satelit, internet, retailers independent dan pilihan teknologi personal baru. Paul Kagan (2003)
10. meramalkan bahwa ancama kompetitif akan datang dari radio internet berbasis langganan, customized CD dan radio satelit. Selain itu, mobil-mobil baru sekarang ini telah dilengkapi dengan device untuk pemutar musik personal seperti iPod (Ferguson, 2006). Di Indonesia sendiri, kebanyaka orang di kota besar mendengarkan radio ketika sedang berkendara. Tetapi, munculnya mp3 player langsung ditanggapi dengan adanya kaset yang dapat menghubungkan mp3 player dan tape dimobil. Hal ini membuat orang dapat menyimpan lagu-lagu dan memutarnya di dalam mobil. Dengan kapasitas dan fleksibilitas mp3 player, hal ini jelas menjadi ancaman terhadap industri radio di Indonesia. Di masa depan tentunya semua mobil akan dilengkapi dengan slot mp3 player. Kompetisi terhadap radio semakin banyak setelah banyak orang yang mulai memasang TV dan DVD player di dalam mobilnya. Di lain pihak, adanya konvergensi teknologi radio dengan teknologi personal seperti handphone ternyata membuka peluang bagi industri radio untuk tetap eksis. Industri radio juga mempunyai kesempatan di kota-kota besar ketika mobil dan motor memenuhi jalan. Maka informasi kondisi kemacetan merupakan acara yang ditunggu oleh para pengendara mobil. Selain itu, kondisi politik dan keamanan di Indonesia juga bisa mendukung industri radio. Dengan membuat acara radio talk dan menyiarkan debat publik maka radio tidak akan kehilangan pendengarnya. Selain itu, mengahadapi persaingan dengan televisi, siaran radio juga dapat berkonvergensi dengan jaringan TV cable. Seperti yang sudah dilakukan pada Indovision. Kesimpulannya, setiap perubahan akan mendatangkan acaman dan juga kesempatan bagi setiap industri termasuk industri radio dan rekaman. Hal yang utama adalah bagaimana industri itu dapat beradaptasi dengan perubahan.
Kontribusi Industri Rekaman Bagi Industri Media
Seperti yang kita lihat pada sejarah perkembangan industri rekaman sebelumnya, industri rekaman memberikan andil besar dalam perkembangan industri media di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman, keberadaan industri rekaman di Indonesia patut dipertanyakan dan dipertahankan karena industri rekaman memberikan warna lain pada perkembangan industri media di Indonesia.
Kontribusi yang diberikan industri rekaman saat ini yaitu: Pertama, adanya band-band yang dibesarkan secara indie kini mulai menjadi besar fan basenya dan kian mapan seperti PAS Band, Naif, Superman Is Dead, Ten2Five, Maliq & D’Essentials, Mocca, Koil, White Shoes & The Couples Company, The Brandals, The Upstairs, Seringai dan sebagainya.
Kedua, selera. Perbaikan selera musik masyarakat secara keseluruhan. Walaupun menurut saya sempat diperburuk kembali dengan adanya Radja tetapi buat saya ada sebuah alternatif lebih baik daripada disesaki oleh musik-musik yang tidak berkembang dari jaman dulu sampai sekarang. Dan sekarang tinggal menunggu adanya perusahaan rekaman yang berani investasi besar dan mengambil keuntungan dari industri ini. Karena menurut saya, jika industri musik indie berkembang maka akan berpengaruh kepada industri musik secara makro dan begitu juga sebaliknya.
Ketiga, berkembangnya indie label yang disupport oleh major label. Seperti yang telah dimulai lebih dulu di akhir tahun 90an oleh Independen/Pops dengan Aquarius Musikindo. Begitu juga dengan makin seriusnya label rekaman independen dalam berbisnis dan berpromosi yang belakangan tengah gencar dilakukan oleh Aksara Records di Jakarta dan FFWD Records di Bandung.
Keempat, lahirnya generasi pendengar musik baru yang tertarik untuk membeli dan mendengar musik-musik indie. Mereka yang memiliki mentalitas lebih baik dari anak-anak sebelumnya. Kepada merekalah industri musik ini nantinya bergantung.
Masalah yang dihadapi Industri Rekaman di Indonesia
- Industri Rekaman Dibayangi Produk Bajakan
Di tengah pesatnya perkembangan dunia permusikan nasional saat ini, konsekuensi yang harus dihadapi industri rekaman lokal adalah pembajakan. Benalu itu dari tahun ke tahun kondisinya semakin parah. Bahkan, secara statistik, jumlah produk album lagu legal yang beredar lebih sedikit dibandingkan bajakan.
Menurut Dicky Sundri seorang produser rekaman, pembajakan banyak akal dan kaya inovasi. Di tangan mereka, satu album yang dibajak akan menghasilkan beragam versi produk ilegal. Kejahatan itu dilakukan sejak kelompok musik me-lounching album barunya di televisi. Bahkan tidak jarang sebelum dipromosikan, bajakan sudah beredar di pasar dengan harga jual jauh lebih murah.
Belum lagi siaran langsung konser di berbagai kota, pasti tidak luput dari bidikan pembajak. Mereka rekam tayangan itu, lalu di kompilasi dengan album hits dari rekaman lagu kelompok lainnya.
- Industri Rekaman Bersaing dengan Perkembangan Industri Media Lainnya
Dimulai dari lahirnya format MP3 yang membuat format lagu gampang dipertukarkan, lalu munculnya website2 yg menyediakan sarana peer-to-peer, seperti Napster, yang membuat proses tukar-menukar lagu menjadi super mudah sampai ditahun 2005 ini yang penuh dengan kejutan bertubi2 seperti munculnya BitTorrent yang dimata org awam mirip Napster hanya mampu menshare bukan hanya lagu tapi film dvd full version. Lalu juga perkembangan blog yang muncul diawal2 tahun 2000an yg sekarang berkembang ke arah Audio (PodCasting). Semua ini bukan hanya mengancam dan bahkan sudah mulai menggilas industri musik bahkan juga mulai memoroti industri film layar lebar.
Diatas kertas sih industri rekaman memang gak bakalan menang kalau diadu dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang dulunya berjalan side-by-side dengan perkembangan industri rekaman, sekarang menjadi musuh dalam selimut yang mulai menghujam dari belakang.
Jadi, apakah industri rekaman akan punah? Ada dua skenario yang diprediksikan muncul, yaitu pertama industri rekaman mulai menyadari bahwa “mengkontrol” perkembangan (musik digital) adalah langkah yang salah sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai melakukan kompromi. Ini ditandai dengan munculnya distribusi2 musik digital resmi seperti iTunes, buymusic.com, new napster (99 cents per lagu atau mbayar bulanan download sepuasnya). Skenario kedua adalah skenario yg lebih ekstrim, dimana industri rekaman akan benar-benar bermetamorfosis menjadi sebuah industri semi non-profit dimana tujuan musisi/artis/penyanyi membuat rekaman adalah untuk membuat sample yg akan dibagikan kepada audiens. Bagaimana musisi/artis/penyanyi bisa hidup? Industri pertunjukkanlah yang akan mengambil alih peran utama sebagai sumber mata pencaharian mereka, dimana industri pertunjukkan akan berkembang pesat dengan ditopang oleh perkembangan teknologi yang juga melejit pesat. Sekedar bayangan saja, sebuah band seperti U2 yang tadinya bisa meraup profit dari hasil tour nya keseluruh dunia dimasa yang akan datang hanya cukup melakukan konser di sebuah panggung di kota asalnya dimana penontonnya akan meluas sampai keseluruh dunia di negara mereka masing dengan menggunakan teknologi streaming video dan tentunya harus membayar jika ingin menonton.
Dampak Industri Rekaman dalam Kehidupan
1. Ekonomi
Timbulnya pembajakan. Pembajakan juga dituding menjadi ‘biang keladi’ turunnya jumlah penjualan album fisik (audio & video) legal. Data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), menyebutkan pada 2008 produk bajakan di Indonesia peredarannya mencapai 90% dari produk aslinya. Hanya 10% saja produk rekaman asli beredar di pasaran! Artinya, satu album resmi dirilis, 9 bajakannya sudah muncul di pasaran.
Kecanggihan alat rekam berikut pemutarnya menjadikan berbagai urusan bisnis hiburan menjadi semakin mudah. Maka, bila bisnis hiburan semakin mudah untuk dilakukan, akan menjadi suatu ladang bisnis yang sangat menjanjikan untuk menambah kekayaan.
2. Regulasi
Pemegang lisensi asli memprotes perusahaan rekaman di Indonesia, terutama setelah digelarnya konser amal Live Aid pada tahun 1985 yang rekamannya diedarkan dalam bentuk kaset. Rekaman bajakan konser amal yang diedarkan di Indonesia tanpa membayarkan kontribusi memicu protes dari para pemegang lisensi. Hal ini membuat pemerintah Indonesia bergerak melarang perekaman tanpa lisensi.
Menjelang peraturan pemerintah Indonesia yang mengharuskan peredaran kaset barat berlisensi/bayar royalti, Billboard yang tadinya hanya menerbitkan kaset Barat akhirnya mulai menerbitkan kaset dengan penyanyi Indonesia atau gabungan lagu Barat dengan lagu Indonesia.
3. Sosial Budaya
Pengaruh dari media massa lainnya yaitu televisi, majalah dan internet telah memberikan banyak kontribusi bagi kelangsungan hidup industry rekaman. Berjuta-juta artis bermunculan, membuat suatu karya yang ingin dinikmati khalayak banyak, juga membutuhkan publikasi yang bagus untuk karyanya itu. Begitu pula sebaliknya, media massa tersebut membutuhkan sebuah materi yang paling diminati banyak orang, karya seni.
Timbulnya karya seni yang baru, komunitas musik baru, serta mempengaruhi pula pola budaya yang dianut oleh komunitas musik tersebut.
4. Politik
Industri rekaman juga memberikan andil pada bidang politik. Peristiwa di Pendopo Banyuwangi sebenarnya berlangsung di tengah sayup-sayup promosi ”perlunya dilestarikan kebudayaan daerah” yang mulai dihembuskan elit politik Orde Baru di tingkat nasional. Bahkan hampir seluruh kesenian seperti Tayub, Reyog, Ludruk, Topeng, Jaipong, Mocopatan dan lain-lainnya mengalami dampak intervensi pemerintah ini lewat bungkuspelestarian, revitalisasi, dan pembinaan untuk memperkokoh apa yang mereka pandang sebagai kebudayaan nasional. Kebijakan Orde Baru ini diwujudkan dalam berbagai bentuk mulai dari pemberdayaan, penataran, pengawasan, pengubahan, pengetatan izin dan bahkan pengkutukan kesenian tertentu sebagai amoral dan subversi. Adapun media salurannya meliputi pementasan, festival, maupun rekaman.
Di Banyuwangi, misalnya, berbagai kesenian dipantau dan dibina melalui Surat Keputusan (SK) Nomor um./1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970. Berbagai rekaman pun diproduksi dan disiarkan secara intensif di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Suara Blambangan. Dari rekaman ini lalu diikuti pula oleh kasetisasi serupa yang dilakukan para seniman. Dari catatan yang dibuat oleh Hasan Ali, waktu itu setidaknya muncul dua industri rekaman: Sarianda Record dan Ria Record. Keduanya beroperasi di wilayah kota, sementara di beberapa kecamatan juga muncul industri serupa seperti Moro Seneng Record di Kalibaru dan Kencono Record di Rogojampi.
Maraknya industri rekaman yang dikelola oleh para pengusaha lokal ini sebenarnya pernah dinilai oleh pihak RKPD sebagai usaha komersialisasi. Padahal menurut mereka, produksi rekaman hanya ditujukan untuk kepentingan pelestarian dan bukan usaha perdagangan. Lantas keluarlah Surat Edaran Ketua RKPD No. 51/RKPD/V 1972 yang berisi larangan pengedaran dan penjualan lagu-lagu daerah Banyuwangi bagi para pengusaha swasta ini.
Kisah lain yang sedikit berbeda dialami Fatra Abal. Pemda pernah membatalkan rekaman seniman Banyuwangi ini lantaran ia meluncurkan lagu berbahasa Using yang dibungkus alunan musik melayu. Abal dinilai merusak corak kebudayaan daerah setempat.
Seiring dengan waktu, kasetisasi kesenian yang bersentuhan hangat dengan kekuasaan (politik) ini menjadi fenomena lokal yang khas.
Di Ponorogo, sekitar pertengahan tahun 90-an, kasetisasi Reyog berlangsung dalam kaitannya dengan upaya pemda setempat untuk mengontrol dan melestarikan Reyog. Bahkan Bupati Ponorogo waktu itu, April 1993, membentuk sebuah yayasan yang mengokohkan diri sebagai satu-satunya badan pembina Reyog, dan menginstruksikan semua camat dan pembantu bupati untuk membentuk perwakilan Yayasan Reyog di daerah masing-masing.
Pelatihan tari, nyanyi dan musik adalah salah satu aktifitas Yayasan ini. Meski tak serutinkonco Reyog, kegiatan ini dilaksanakan dengan berbagai cara, melalui beberapa media. Khusus untuk menawarkan pembaruan di bidang nyanyi dan musik, yayasan didukung oleh seorang ahli musik Reyog, mbah Djojo. Hingga pertengahan 1998, warok yang sangat kreatif dan produktif ini sudah memproduksi 12 album kaset musik dan lagu Reyog dan diedarkan secara komersial di pasaran. Selain itu, lagu dan musik Reyog kreasi mbah Djojo ini juga memperoleh kesempatan siaran yang istimewa di radio ”Gema Surya”, sebuah radio swasta terbesar di Ponorogo. Mbah Djojo memandu acara khusus Reyog di radio itu dengan mata acara ”obrolan warok” yang menggelar tanya jawab mengenai Reyog dan musiknya. Seorang penjual kaset di Ponorogo menuturkan bahwa pembeli terbanyak kaset-kaset Reyog tersebut adalah para pemimpin konco Reyog yang terpaksa membeli karena bisa dipastikan ciptaan mbah Djojo itu menjadi ”patokan” dalam festival tahunan.
Sumber